Oleh: Jabrohim | 19 Januari 2010

Persada Studi Klub

KETERLIBATAN ANAK MUDA BANTUL

DI PERSADA STUDI KLUB

Oleh: Jabrohim

Berangkat dari Keprihatinan

Lingkungan hidup saya di dusun kebanyakan keluarga Nahdliyin. Di situ ayah yang warga Muhammadiyah dilahirkan dan bertempat tinggal. Semen-tara itu, ibu saya berasal dari keluarga Nahdliyin. Tidak ada persoalan dalam keluarga saya meskipun kedua orang tua saya menganut paham yang berbeda. Sebagai suami istri, keduanya harmonis dan tidak ada percekcokan dalam hal paham beragama ini. Tidak demikian halnya kehidupan dan pergaulan di dusun saya. Antara warga Nahdliyin dan Muhammadiyah selalu saja ada permasalahan.

KETERLIBATAN ANAK MUDA BANTUL

DI PERSADA STUDI KLUB

Oleh: Jabrohim

Berangkat dari Keprihatinan

Lingkungan hidup saya di dusun kebanyakan keluarga Nahdliyin. Di situ ayah yang warga Muhammadiyah dilahirkan dan bertempat tinggal. Semen-tara itu, ibu saya berasal dari keluarga Nahdliyin. Tidak ada persoalan dalam keluarga saya meskipun kedua orang tua saya menganut paham yang berbeda. Sebagai suami istri, keduanya harmonis dan tidak ada percekcokan dalam hal paham beragama ini. Tidak demikian halnya kehidupan dan pergaulan di dusun saya. Antara warga Nahdliyin dan Muhammadiyah selalu saja ada permasalahan.

Sejak kecil saya belajar agama di dusun sendiri. Tidak ada guru ngaji (saat itu istilah ustadz belum populer seperti sekarang) di dusunku maupun di tetangga dusun dari kalangan warga Muhammadiyah. Karena itu saya belajar ngaji dengan diasuh oleh para guru ngaji dari kalangan Nahdliyin. Semua santri begitu tunduk pada guru ngaji. Apapun yang diperintahkan guru ngaji pastilah dilaksanakan. Tidak terkecuali untuk mengikuti kegiatan pengajian akbar yang dilaksanakan warga Nahdliyin di tetangga dusun.

Saat itu akhir sekitar G30S/PKI. Dari berbagai pengajain akbar yang saya ikuti, hampir semua bermuatan politik. Tidak jarang pengajian yang diselenggarakan oleh warga Nahdliyin menyerang paham Muhammadiyah. Saya tidak tahu persis mengapa saya tidak suka dengan hal demikian itu. Oleh karena itulah saya tidak mau lagi belajar ngaji di kalangan Nahdliyin. Bersamaan dengan itu saya masuk di sekolah Muhammadiyah (SMP Muhammadiyah Bantul) dan mulai mengikuti kegiatan-kegiatan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), termasuk training-trainingnya. Saya ingat persis bagaimana senior kami Sumarno Prs (yang saat ini menjabat sebagai Wakil Bupati Bantul) memberikan penguatan ideologi kepada para peserta training. Di malam hari saya belajar ngaji pada KH Mathori Al Huda, seorang tokoh Islam moderat. Beliau bukan Nahdliyin dan bukan Muhammadiyah, namun pahamnya mendekati Muhammadiyah.

Ketidakharmonisan antara warga Nahdliyin dengan Muhammadiyah se-makin mencolok. Secara kebetulan, di SMP Muhammadiyah Bantul saya bersahabat dengan sejumlah kawan seangkatan yang berasal dari warga Nahdliyin. Barangkali juga sebuah kebetulan, kami mempunyai keprihatinan yang sama: “tidak suka dengan ketidakharmonisan hubungan antara Nahdliyin dan Muhammadiyah”. Timbul dalam pikiran kami (yang saat itu masih sangat muda) untuk dapat membangun keharmonisan sesama teman dari kalangan umat Islam. Dari pikiran sederhana kami, upaya membangun keharmonisan tersebut kami tempuh dengan cara masuk ke dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Di organisasi ini, kami tidak lagi berbicara perbedaan paham antara Muhammadiyah dan Nahdliyin. Di situ kami membangun persahabatan dan kebersamaan. Kami belajar bersama, “ngluyur” bersama, dan menyelenggarakan berbagai kegiatan bersama.

Berkenalan dengan PSK

Membantu orang tua sudah saya lakukan sejak kecil. Ketika duduk di SMP, minimal seminggu sekali setelah pulang sekolah saya ke Pasar Beringharjo untuk menjual dan membeli hasil bumi dalam jumlah yang sangat sedikit (sekitar 25 kg). Orang tua saya tidak merasa takut melepas saya sendirian ke kota. Hal itu sangat beralasan mengingat kami mempunyai dua orang Pakde di kota (tepatnya di sekitar masjid Gandekan Lor). Kedua orang yang saya panggil Pakde tersebut adalah saudara sepupu bapak dari pihak eyang putri dan saudara sepupu bapak dari eyang kakung.

Ada perbedaan yang mencolok diantara kedua saudara kami tersebut. Pakde di barat masjid adalah imam masjid sedangkan Pakde di utara masjid adalah seorang penjual KTI (minuman dari ketan hitam yang memabukkan), mucikari, dan pimpinan pencopet di wilayah Beringharjo dan Malioboro. Ternyata perbedaan itu membawa hikmah tersendiri bagi saya. Saya dapat begitu taat beragama dan aman menginap di rumah Pakde yang imam masjid. Sementara itu, terhadap pencopet saya tidak perlu takut. Pernah saya kecopetan barang dan uang. Dalam waktu kurang dari dua hari barang dan uang saya dapat kembali karena bantuan Pakde tersebut. Hal itu membuat rasa aman dalam diri saya.

Rasa aman itu membuat saya sering jalan-jalan di Malioboro baik di siang hari maupun malam hari. Jalan Malioboro 175a tempat Umbu Landu Paranggi dan teman-teman Persada Studi Klub bermarkas, tidaklah jauh dari Gandekan Lor. Saya mengenal nama-nama diantara mereka yang sering  bergabung bersama Umbu Landu Paranggi. Sederet nama yang saya kenal saat itu: Suwarna Pragolapati yang tinggal di belakang Pasar Sentul, Linus Suryadi Ag yang tinggal di Wisma Gedhono Gedhini Jalan AM Sangaji 33A, Emha Ainun Nadjib yang oleh Linus Suryadi dipanggil dengan sebutan “Em”, Wedha Asmara yang berwajah cewek dan berambut panjang, Teguh Ranu-sastra yang anaknya Pak Ani Asmara, Iman Budi Santosa adiknya Mas Teguh, Suparno S. Adhy yang sering nulis dengan nama Susasalatri, dan lain-lain. Saya yakin mereka saat itu tidak mengenal saya sebab saya hanya orang pinggiran dan bukan sastrawan seperti mereka.

Di Bantul saya bergabung dengan teman-teman Nahdliyin dan Muhammadiyah dalam Pelajar Islam Indonesia (PII) demi mendapatkan keharmonisan dalam bersahabat. Dalam Persada Studi Klub (PSK) saya juga melihat adanya keharmonisan itu. Ada Emha Ainun Nadjib yang muslim jebolan pondok, ada Linus Suryadi Ag yang nasrani, ada Ragil Suwarna Pragolapati yang marhaenis, dan masih banyak lagi kawan yang beragam paham, agama, dan organisasinya. Mereka akrab bersahabat. Karena keharmonisan pergaulan di Persada Studi Klub itu saya mulai tertarik pada sastra.

Ketertarikan saya pada sastra semakin meningkat ketika saya melanjut-kan studi di FKSS IKIP Yogyakarta. Tidak hanya tertarik pada sastra, namun juga bersahabat akrab dengan para sastrawan yang bergabung dalam Persada Studi Klub.

Membawa PSK ke Bantul

Kegiatan kami di Pelajar Islam Indonesia (PII) Bantul saat itu sangat terbatas, belum menyangkut sastra. Abi Yazid, Asrom, dan saya adalah alumni SMP Muhammadiyah Bantul yang melanjutkan studi di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKSS IKIP Yogyakarta. Di jurusan lain, Jurusan Seni Rupa, ada anak Bantul bernama Kingking Subyarsih. Berempat kami tertarik pada sastra. Mulai mengadakan kegiatan-kegiatan sastra.

Bergantian membaca buku sastra (karena masih jarang diantara kami memiliki buku sastra), mencoba untuk menulis puisi, berdiskusi dan membaca karya sendiri adalah awal kegiatan seni yang diselenggarakan oleh sebagian anak-anak PII Bantul, ya kami berempat itu. Kegiatan kemudian berkembang. Masing-masing dari kami berempat mengajak teman. Kingking Subyarsih mengajak Hans Rohadi GP dari Pandak, Abi Yazid mengajak Daim Rahardjo dari Pajangan, saya sendiri mengajak Evy Mudjono dari Bambanglipuro, Marginu dari Kretek, Bambang Sri Riyadi dari Sanden, dan Riwandi dari Pleret. Pertemuan kecil-kecilan dan insidental banyak diselenggarakan, namun pesertanya bergantian.

Kegiatan pertama yang dihadiri oleh banyak peserta dipelopori Hans Rohadi GP dan Kingking Subyarsih. Nama kegiatan itu Pertemuan Sastra Gunung Sepikul. Diselenggarakan di rumah Hans Rohadi GP yang terletak di dekat Gunung Sepikul, di wilayah Pandak. Hadir dalam kegiatan itu teman-teman dari berbagai kecamatan di Bantul. Kecuali itu, dalam kegiatan tersebut datang “tokoh-tokoh” Persada Studi Klub seperti Ragil Suwarna Pragolapati, Linus Suryadi Ag, Sutirman Eka Ardhana, Wedha Asmara, Teguh Ranusastra Asmara, dan lain-lain. Sebetulnya yang diharapkan datang adalah Umbu Landu Paranggi. Namun dia tidak datang. Diperoleh informasi Ragil Suwarna Pragolapati (yang biasa saya panggil Mas Warna dan belakangan para mahasiswa saya lebih banyak memanggil Mas Ragil), bahwa Umbu tidak dapat datang dan menugasi Mas Warna dan Linus untuk menggantikannya.

Pertemuan Gunung Sepikul menghasilkan kesepakatan, antara lain pertemuan serupa perlu diselenggarakan secara rutin, minimal setahun dua kali, untuk setiap kali pertemuan perlu mengundang sastrawan dari Persada Studi Klub, dan dipandang perlu untuk menerbitkan bulletin. Di samping itu, kegiatan-kegiatan insidental untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman (saat itu istilah apresiasi belum begitu dikenal) perlu terus dilanjutkan. Saat itu ditetapkan juga rumah saya yang tidak jauh dari kota Bantul sebagai tempat bertemu.

Penerbitan bulletin dapat dilaksanakan atas kerja keras Jabrohim, Sahari, dan Kingking Subyarsih. Bulletin khusus sastra itu diberi nama Arah. Untuk ukuran saat itu, terbitan dalam bentuk stensilan sudah termasuk bagus. Dalam edisi pertama dimuat sajak-sajak Dwi Indrati (Siluk, Imogiri), Kingking Subyarsih (Pandak), Jabrohim (Bantul), dan lain-lain. Penerbitan dapat berjalan sampai empat kali saja. Biaya menjadi penyebab macetnya pener-bitan bulletin ini.

Pertemuan rutin yang direncanakan dapat berjalan minimal setahun dua kali dapat terlaksana, namun tidak dapat secara rutin mengundang teman-teman dari Persada Studi Klub. Pertemuan diselenggarakan di Imogiri, Pleret, Kretek, Bambanglipuro, Bantul, Pajangan, Sanden, dan Pandak. Hanya dua kali pertemuan yang di dalamnya Persada Studi Klub diundang, yakni Pertemuan Gua Slarong dan Pertemuan Parangtritis. Pertemuan Gua Slarong dilaksanakan dengan penyelenggara Daim Rahardjo dan Abi Yazid dan Pertemuan Parangtritis dengan penyelenggara Evy Mudjono dan Sardjono. Dalam dua pertemuan itu Ragil Suwarna Pragolapati selalu hadir.

Kegiatan sastra di Bantul menggeliat karena Ragil Suwarna Pragolapati. Umbu Landu Paranggi yang “ngipasi” lewat Pelopor Yogya. Umbu sendiri tidak pernah ke Bantul. Emha yang berulang kali diupayakan untuk hadir di Bantul tidak pernah tercapai. Entah apa yang menyebabkan penjaga gawang Insani itu tidak pernah ke Bantul tidak ada catatan dan ingatan yang bisa memberikan penjelasan.

Teman-teman di Bantul lebih banyak mengenal Mas Warna dan Linus daripada “tokoh-tokoh” Persada Studi Klub lainnya. Linus dikenal sebagai penyair yang piawai, namun sebagai pribadi dia adalah penakut. Teman-teman di Bantul tahu betapa takutnya Linus ketika diajak memasuki Gua Langse di Parangtritis.

Saat itu, Pertemuan Sastra Parangtritis. Kegiatan ini diselenggarakan dua hari semalam. Pagi-pagi tuan rumah Evy Mudjono mengajak para peserta untuk jalan-jalan pagi menuju Goa Langse. Dengan alasan untuk proses kreatif Ragil Suwarna Pragolapati mendukung ajakan tersebut. Delapan orang berangkat, sementara yang lain tinggal di perkemahan. Linus sebagai tamu yang diundang untuk memberikan bimbingan dalam menulis tentu saja juga mengikuti acara tersebut.

Evy Mudjono dan Ragil Suwarna Pragolapati begitu cekatan menuruni bukit terjal. Untuk sampai di Goa Langse memang kita harus menuruni bukit terjal, sementara di bawahnya air laut. Belum sampai menuruni bukit terjal itu, Linus sudah menyerah, tidak mengikuti rombongan. Di Goa Langse, Ragil Suwarna memberikan motivasi-motivasi untuk menulis. Semua yang mengikuti acara ke Goa Langse ini oleh Ragil Suwarna diminta untuk mewawancarai sejumlah orang yang “bersemedi” di goa tersebut. Setelah itu, semua peserta diminta untuk menulis cerita. Bersama seorang teman dari Bantul, Linus menunggu kami lebih dari tiga jam.

Kedekatan dengan Ragil Suwarna Pargolapati terus berlanjut. Bersama Jabrohim dan Sahari keluar masuk desa, ke sekolah-sekolah di wilayah Bantul. Saat itu Jabrohim dan Sahari bertugas sebagai guru Sekolah Dasar di Bantul. Pembinaan menulis dan membaca puisi di wilayah Bantul banyak dilakukan Ragil Suwarna Pargolapati. Banyak teman dari Bantul yang ber-kunjung ke rumah Ragil Suwarna Pragolapati (baik ketika di belakang Pasar Sentul, di Suryoputran, maupun di Minggiran) untuk belajar menulis.

Bantul, 5 Maret 2007


Tinggalkan komentar

Kategori